SOS Teh Indonesia

Tulisan Agus Pakpahan, Ketua Badan eksekutif Gabungan Asosiasi
Petani Perkebunan Indonesia.

Ini adalah salah satu contoh, betapa menyedihkan perkembangan ekspor teh Indonesia, yang dulu sempat menjadi andalan ekspor perkebunan. Keberhasilan masa lalu telah memerangkap kita untuk tetap menekuni usaha yang sama bertahun-tahun tanpa inovasi. Dalam salah satu artikel di Kompas, terlihat betul betapa menyedihkannya perkembangan ekspor teh Indonesia. Teh, yang dulu menjadi andalan ekspor perkebunan, sekarang nilai penjualannya anjlok terus. Sayangnya tak banyak orang perkebunan kita yang menyadari bahwa research & development (R & D) sangat penting. Di pasaran internasional, saat ini berkat kemajuan R & D, unsur teh dalam campuran teh yang diperdagangkan telah semakin kecil. Barang-barang konsumsi berupa teh telah dicampur oleh ingredient lain seperti bunga mawar, aroma mangga, kayu manis, jeruk dan sebagainya.

Selain itu, ada demikian banyak produk pengganti yang dijajakan sebagai teh.  Korea Selatan misalnya, saat ini sedang gencar-gencarnya memasarkan ginseng dalam bentuk teh (teh ginseng).  Atau negara-negara Amerika Selatan dan India yang memasok teh Chamomille. Semua itu telah mencuri porsi pasar teh tradisional Indonesia.  Sementara negara-negara pesaing terus meningkatkan kualitas produk dan masuk ke dalam produk-produk bernilai tambah tinggi. Produsen-produsen teh Jepang saat ini gencar menjelaskan betapa teh hijaunya berkhasiat tinggi. Teh hijau Jepang saat ini juga dipasarkan dalam berbagai minuman kaleng dan es krim (green tea ice cream) yang nilai tambahnya jauh lebih tinggi dari
sekedar komoditas seperti yang dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis teh Indonesia.

Teh merupakan bagian  budaya yang sudah berusia ribuan tahun. Diyakini bahwa teh ini berasal dari negeri China.  Konon pada jaman Kaisar Shen Nung (2737 SM), secara tidak sengaja selembar daun jatuh dan masuk ke
dalam rebusan air dan terseduh oleh Sang Kaisar.  Daun tersebut adalah daun teh dan Kaisar merasakan nikmatnya air seduhan tersebut.  Setelah itu, teh mulai dikenal dan menyebar luas.

Cerita teh di Indonesia berawal dari Andreas Cleyer. Pada tahun 1686, ia membawanya ke Indonesia untuk tanaman hias.  Lalu, 42 tahun kemudian, yaitu tahun 1728, Belanda mulai tertarik terhadap teh dan mulai mendatangkan benih teh dari China untuk dibudidayakan di Pulau Jawa.

Tahun 1824, Van Siebold melanjutkan upaya pengembangan teh yang benihnya berasal dari Jepang. Usaha perkebunan teh pertama di Indonesia dipelopori Jacobson pada 1828.  Teh mulai berkembang dan memberikan keuntungan bagi Belanda.  Gubernur Van Den Bosch menjadikan teh sebagai salah satu komoditas Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel). Jawa Baratlah yang menjadi pusat teh di Indonesia.

Sekarang teh sudah menjadi bagian dari kebudayaan dunia, minum teh adalah tradisi yang bukan hanya bersifat ritual, spiritual, tetapi dalam kehidupan beberapa golongan masyarakat di negara lain sudah menjadi simbol kehidupan glamor.

Sejarah panjang ini tentu memberikan  makna besar bagi bangsa Indonesia. Data tahun 2002 menunjukkan bahwa luas areal teh di Indonesia sudah mencapai lebih dari 157.000 hektar, yang terdiri atas perkebunan teh milik BUMN sekitar 49.000 hektar, swasta 43.000 hektar, dan petani 66.000 hektar. Sekitar 70-80 persen perkebunan teh ini berada di Jawa Barat., tanah Pasundan.

Pada 2002, Indonesia memproduksi 172.700 ton teh dari produksi dunia 3,05 juta ton. Jadi pangsa (share) Indonesia 5,6 persen. Sebagai perbandingan, produksi negara lain seperti India 826,.200 ton, China 745.400 ton, Sri Langka 310.600 ton, dan Kenya 287.000 ton(international Tea Comitte, 2003).

Teh merupakan komoditas ekspor Indonesia, khususnya Jawa Barat. Pada tahun 2002, nilai ekspor teh Indonesia mencapai 103, juta dolar AS, dengan volume ekspor 94.700 ton untuk teh hitam dan 5.500 ton teh
hijau.  Tahun 1993, nilai ekspor teh Indonesia ini mencapai 155,7 juta dolar dengan volume ekspor 123.926 ton.  Pada 1998, nilai ekspor teh Indonesia menurun menjadi 113,2 juta dolar dengan volume 67.219 ton.

Data ini menggambarkan bahwa penerimaan devisa dari ekspor teh Indonesia ternyata menurun dari 1993 dan 1998. Yang paling mengkhawatirkan adalah data 1998-2002, dimana volume ekspor meningkat 33.000 ton, tetapi pendapatan menurun 9,8 juta dolar atau Rp83,3 miliar dalam empat tahun.

Tabel 1 mencoba memberikan gambaran melalui perbandingan kinerja antara Sri Langka dan Indonesia dalam bidang pertehan ini. Data inilah yang mengungkapkan bahwa teh Indonesia berada dalam situasi
gawat (SOS).

Hal ini diperlihatkan oleh, pertama, harga teh Sri Langka selalu lebih tinggi daripada harga teh Indonesia, dengan selisih terendah 0,6 dolar (1993)
dan tertinggi 1,38 dolar (1996) per kilogram.

Setelah tahun 1996, harga teh Sri Langka selalu di atas 2,24 dolar per kilogram, sedangkan harga teh Indonesia pada periode yang sama sekitar 0,99-1,68 dolar per kilogram. Harga teh Sri Langka 48-130 persen
lebih tinggi dari harga teh Indonesia (1993-2002). (sebagai catatan, data harga ini merupakan hasil perhitungan nilai ekspor dibagi oleh volume ekspor, jadi bukan data transaksi).

Kedua, volume ekspor teh Sri Langka relatif meningkat terus. Pada tahun 1993, ekspor Sri Langka 209.942 ton, dan tahun 2002 menjadi 285.985 ton. Volume ekspor Indonesia berfluktuasi cukup tajam.  Hal ini menandakan bahwa kontinuitas ekspor Indonesia lemah.

Ketiga, nilai ekspor teh Sri Langka naik terus sejalan dengan kenaikan volume ekspor, tetapi nilai ekspor Indonesia fluktuatif. Bahkan kenaikan volume ekspor teh Indonesia tidak selalu diikuti oleh kenaikan pendapatan dari ekspor ini.  Contoh: volume ekspor Indonesia pada 1998 sebanyak 67.210 ribu ton memberikan pendapatan 113,2 juta dolar, tetapi volume
ekspor teh sebanyak 100.185 ribu ton (2002) memberikan pendapatan lebih rendah, yaitu 103,4 juta dolar AS.

Fluktuasi volume ekspor dan harga yang selalu lebih rendah, dan rendahnya harga itu jauh dari apa yang dicapai Sri Langka, tentu menyembunyikan banyak persoalan.  Persoalan tersebut bukan hanya terletak pada aspek budidaya teh, tetapi tentu lebih mendasar lagi. Hal ini didasari oleh argumen bahwa daya saing suatu produk tidak hanya terbatas pada aspek teknis saja, tetapi lebih luas daripada itu.

Banyak teori atau pendapat tentang bagaimana kita dapat meningkatkan daya saing di pasar global. Diantaranya adalah dengan membaca buku The Marketing of Nations karya Philip Kotler  et.al. (1997) atau buku Creating Wealth karya Lester Thurow (1999) dan buku Lester Thurow (2003) Fortunes Favors the Bold.

Namun, apakah kita mampu membangun daya saing itu, pada akhirnya kembali pada kita sendiri. APakah kita mau dan bisa membangun diri kita sendiri, masyarakat pertehan Indonesia, khususnya masyarakat pertehan Jawa Barat.  Pihak lain hanyalah pihak yang hanya sampai sebatas membantu, bukan yang utama. Apabila kehancuran teh Indonesia dibiarkan terjadi, dampaknya akan sangat luas. Bukan hanya ribuan petani
kehilangan pekerjaan, para pekerja perkebunan kehilangan penghasilan, tetapi negara secara keseluruhan juga akan mengalami kerugian yang sangat besar.

Kerugian yang paling besar adalah kehilangan kepercayaan diri itu sendiri (social capital) yang sangat penting. Satu mata rantai budaya yang telah
tumbuh di Indonesia bersamaan dengan berkembangnya teh selama ini akan punah.  Apalagi yang dapat diceritakan oleh generasi kita kepada generasi selanjtunya, kecuali ketidakmampuan kita melanjutkan kejayaan masa lalu, yang sekaligus juga menjadi dan memberikan beban kepada anak cucu kita.

SOS…..SOS  &  siapa yang bisa menolong teh ini?

1 responses to “SOS Teh Indonesia

  1. apa yang hilang ya dengan negara ini… tidak perlu dijajahkan agar kita bisa kembali berjaya di dunia. Kita masih belum mampu mengimbangi Belanda se-abad yang lalu.
    Kadang ada juga yang sombong, udah jelas bodoh sombong lagi… Indonesia-indonesia…

Tinggalkan komentar