Dari Gunung Wayang, Angin Dewata Berembus

Sumber : Harian Pikiran Rakyat 19 Februari 2008

Oleh T. BACHTIAR

KATA wayang dalam Gunung Wayang yang berada di selatan Bandung itu ternyata bukan berasal dari kata wayang (golek) seperti yang kita kenal saat ini. Wayang di sini berasal dari kata wa, yang berarti angin atau berangin lembut, dan yang atau hyang artinya dewa. Jadi, kata wayang yang menjadi nama gunung ini berarti angin surgawi atau angin dewata yang lembut, yang mencirikan gambaran keindah-permaian alam yang abadi.

Gunung Wayang sudah dikenal sangat lama, sejak manusia leluhur Bandung memuja Tuhannya di kesunyian alam yang permai. Dr. N.J. Krom (1914) melaporkan bahwa di salah satu puncak Gunung Wayang terdapat beberapa arca dari batu cadas yang pengerjaannya kasar, dan terdapat pula 40 arca lainnya. Dalam salah satu kuburan di sana terdapat pecahan-pecahan tembikar, kapak batu, dan tembikar.

N.J. Krom juga melaporkan, di dekat hulu Ci Tarum terdapat guci-guci dan sebuah arca dengan mahkota (seperti sebuah meriam kuno).

Di sisi Perkebunan Kina Argasari, Pacet, terdapat parit-parit pertahanan yang terbentuk rapi. Bila dilihat dari atas, terdapat pola-pola yang teratur mengikuti garis ketinggian yang kemudian dipapas untuk kepentingan pertahanan. Keadaannya masih terjaga, kecuali di beberapa tempat yang pernah dipakai untuk pembibitan kopi serta beberapa rumah yang berjajar di arah selatannya.

Bujangga Manik, rahib pengelana dari Kerajaan Sunda abad ke-15, dalam perjalanan pulang dari ekspedisi suci kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Pulau Bali, menyempatkan untuk mengunjungi tempat suci di Gunung Wayang.

Dalam daun lontar Bujangga Manik menulis:

“…

Sacunduk ka Gunung Sembung,

Eta huluna Ci Tarum,

Di inya aing ditapa,

Sambian ngeureunan palay,

Tehering puja nyanghara,

Puja nyapa pugu-pugu,

Tehering nanjeurkeun lingga.

…”

“…

Sadari aing ti inya

Leumpang aing ngidul-ngetan,

Meuntasing di Ci Marijung,

Meuntasing di Ci Carengcang,

Meuntas aing di Ci Santi,

Sananjak ka Gunung Wayang.

…”

Ini menunjukkan, bahwa Gunung Wayang dan sekitarnya sudah sangat dikenal sejak lama.

Pada tahun 1930-an Pangalengan sudah menjadi objek wisata yang terkenal karena pemandangan alamnya yang permai. Apel dan kapas yang bermutu tumbuh dengan baik di sini, ditambah keasrian hotelnya, membuat Pangalengan menjadi sangat terkenal.

Nji Anah, Zangeres-Dichteres di Tjiandjoer, juru mamaos Cianjuran dan penulis dari Cianjur, menulis pupuh yang kemudian menjadi buku panduan wisata, Beschrijving van Pangalengan en Omstreken yang dilengkapi dengan foto-foto dan peta berukuran besar yang sangat terperinci.

Dalam pupuh Sinom, Nji Anah menulis:

Tanah ma’mur Pangalengan

Mun ku urang dikuriling

Atawa ditingalian

Palih ti wetan ngadingding

Watesna Gunung Bedil

Gunung Wayang Gunung Windu

Ngantay jadi sajajar

Jiga nu pairing-iring

Cek urang teh bade arangkat ka mana?

Tanah Makmur Pangalengan

Jika kita kelilingi

Atau sekadar dilihat

Sebelah timur mendinding

Batasnya Gunung Bedil

Gunung Wayang Gunung Windu

Seperti beriring-iring

Kata kita mau berangkat ke mana?

 

Dalam buku itu, Nji Anah pun menuliskan sakakala Gunung Wayang:

Tersebutlah seorang keturunan Ratu yang bernama Pangeran Jaga Lawang. Dalam kehidupannya ia sering bersemedi di puncak Gunung Wayang yang sunyi. Sang Pangeran mempunyai seorang puteri cantik tiada tandingannya. Puteri Langka Ratnaningrum, namanya. Ia sudah mempunyai calon, pemuda keturunan Galuh. Gagak Taruna, namanya, yang sedang menempa diri dengan melakoni hidup bertani di lembah Ci Tarum yang subur. Pemuda yang rajin, siang bertani, malam bersemedi.

Padi tampak subur dan hasilnya pasti akan jauh lebih banyak dari panen musim lalu. Maka disepakati untuk segera menikah dengan puteri pujaan hatinya.

Seperti biasa, ia sering bersemedi di makam Nyi Kantri Manik di hulu Ci Tarum. Malam itu terlihat datang gadis cantik yang tiada taranya. Gagak Taruna kaget. Diam-diam ia jatuh hati kepada gadis itu, namun si cantik segera menghilang di mata air. Sadar itu sekedar godaan, maka ia segera pulang. Namun pikiran dan hatinya masih terus terpaut kepada si cantik di hulu Ci Tarum.

Padi sudah menguning, tapi belum juga dipanen. Rupanya Gagak Taruna sedang kasmaran kepada bayangan si cantik. Semua merasa aneh, karena Sang Pangeran terlalu sering bersemedi di hulu Ci Tarum begitu magrib menjelang. Bukan tiada yang mengingatkan, namun pemuda itu sudah terpincut senyum yang sangat memikat.

Nyi Kantri Manik asalnya gadis yang cantik yang sakit hati hingga meninggalnya karena pemuda pujaan calonnya tidak menepati janji untuk bersatu. Kini ia selalu membalas dendam dan membenci semua lelaki yang lengah.

Sang Pangeran selalu diingatkan agar segera mempersiapkan diri karena waktu pernikahan sudah dekat. Padi yang sudah lama matang kemudian dipanen. Persiapan menikah besar-besaran sudah dipenuhi. Ketika waktunya tiba, iring-iringan seserahan bergerak menuju puncak Gunung Wayang tempat calon mertuanya berada.

Setelah calon pengantin pria dirias, ia memohon diri untuk melakukan nadran ke hulu Ci Tarum. Sesampainya di sana, ia menyuruh pengiringnya mundur dan segera menuju puncak Gunung Wayang, karena ia akan segera menyusul. Setelah kembang rampe, melati dan campaka ditebar, di seberang terlihat Nyi Kantri Manik tersenyum memikat. Dengan sigap Gagak Taruna berdiri, berjalan menuju ke tempat senyuman yang terus mengembang. Gagak Taruna terus berjalan di dalam air menuju bayangan hingga akhirnya tenggelam.

Di tempat calon pengantin wanita, semua gelisah menunggu, ke mana Gagak Taruna? Rombongan yang menyusulnya mendapatkan Sang Pangeran sudah mengambang.

Pangeran Jaga Lawang sangat prihatin. Ia melampiaskan rasa dukanya itu dengan mengobrak-abrik apa yang ada di dapur. Hawu/tungku dilemparkan dan perabot dapur dibanting. Makanan yang dimasak dilemparkan sampai habis, maka terbentuklah kawah Gunung Wayang.

Air yang mendidih dengan lalab-lalabannya dilemparkan membentuk kawah Cibolang di Gunung Windu.

Puteri Langka Ratnaningrum sangat bersedih, lalu berjalan tak tentu arah. Ternyata ia sudah berada di dalam hutan. Air mata darah terus mengucur. Itulah yang kemudian membentuk air terjun Cibeureum di Gunung Bedil.

Nayaga yang masih berharap Sang Pangeran datang tak mau pergi, maka berubahlah mereka menjadi arca. Sebagian alat-alat tabuhnya dilemparkan, di antaranya membentuk Gunung Kedang.

Mayit Gagak Taruna dikubur di hulu Ci Tarum. Sementara itu Pangeran Jaga Lawang menempa diri menyepuh hati, menghyang di Gunung Seda, ia selalu menanti putri yang dicintainya segera pulang.

Oleh karena itu jangan heran, bila pada malam bulan purnama sering terdengar sayup-sayup bunyi gamelan. Itulah prosesi penyambutan pengantin pria. Bila terlihat asap Gunung Wayang mengepul berlapis-lapis, itu artinya keluarga pengantin perempuan sedang sibuk memasak.

Kini, Gunung Wayang-Windu itu sudah dimanfaatkan energi panas buminya (geotermal), sehingga dapat menambah pasokan energi untuk Jawa-Bali. Panas bumi di sini akan panjang umurnya kalau pasokan air yang meresap ke dalam bumi terjaga. Sebaliknya, bila keadaan hutan di tangkapan hujan yang memasok air terus berkurang, dapat dipastikan umurnya akan berkurang.***

Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung

Penulis:

13 responses to “Dari Gunung Wayang, Angin Dewata Berembus

  1. kang Didien,
    waktu kecil pernah ada dengar juga,
    suara spt gamelan dari arah gn wayang ?

    ada tahu, kalau nama malabar ( gunung malabar ) dan gn malabar, bagaimana sejarah nya ?

    jangan2 nama tsb dibawa oleh Boscha, karena bisnis teh nya berawal dari paman nya yg membuka kebun teh juga di India sana ( di India ada tempat bernama Malabar )

    salam dari lereng gunung wayang
    HM

  2. @Hendra
    Kakak yang pernah cerita, mitos lama…
    walohu’alam benar atau tidak nya, namanya juga mitos. Yang sering dengar juga di lereng gunung nya ada AUL, semacam manuasia berkepala srigala yang terbalik ke belakang. Lagi-lagi mitos

    Feeling aku sih ada benarnya juga kang, sebab Bosscha perna berguru ke pamannya (Edward Kerkhoven) tentang perkebunan TEH di assam (India) yang teryata di sana juga ada daerah bernama Malabar.
    Ini bari analisa aku aja, mungkin pertamakali teh dari india itu ditanam di kaki gunung Malabar, dan disekitar Arjasari (bisa akang lihat di photo Radio Station Malabar pada tulisan Halo-Halo Bandoeng) yang sekarang berubah menjadi hutan.
    Dan gunung itu diberi nama Malabar untuk mengenang daerah asal TEH itu, mybe 🙂 .

  3. Wilujeng siang kang Dien..
    Saya terus terang baru tahu legendanya gunung Wayang dan Windu tersebut. Sejak saya kecil sampai sekarang, saya belum pernah dengar cerita seperti ini. Yang saya tahu, itupun sedikit sekali, cuma cerita gunung Tangkuban Perahu, Bukit Tunggul dan Burangrang. Jadi malu nih, jadi orang sunda tapi ga tahu banyak legenda tatar Sunda.
    Soal apel di Pangalengan.. memang dulu terkenal ya? saya juga ga pernah tahu. Tahunya cuma apel malang saja.
    Hehehe.. maaf. Memalukan sekali ya?

    Wasalam
    Toni

  4. @toni
    Ye… aku pernah lihat tanaman apel sekitar pangalengan. sempat sih nanem di depan rumah. tapi kareana ngak tau ilmunya buahnya “petot”, kecil2x

  5. gunung wyang ituh sngat menarik untuk kita simak banyak artikel dan sejarah tentang pewayangan yg sangat menarik untuk kita simak

  6. ceritanya sama persis…
    saya pernah ngalamin nginep di gunung wayang, hulu nya citarum…
    memang bener ceritanya begitu…
    tapi, saya liat dengan mata saya sendiri…
    pangeran jaga lawang punya se ekor harimau, namanya sibelang…
    hhe…
    mksih…

  7. ooo spt itu toh legenda Gn. Wayang…

  8. nama malabar sudah ada sejak masa kerajaan sunda dahulu.. malabar adalah salah satu kerajaan bawahan..

  9. kgn kampung halaman

  10. pernah sih kesana,cuma pas lewat cisanti ada rasa takut nya. emang cisanti ada mitos nya y?

  11. Nungky Irma Nurmala Pratikto

    Asslm wr wb,
    Selamat pagi Kang Didien tentu akang sering melakukan perjalanan ke puncak Gunung Wayang ya kang? Apa bisa dikirimkan foto puncak Gunung Wayang dari dekat kang? Tentu indahnya sesuai dengan arti namanya : angin surgawi atau angin dewata yang lembut, yang mencirikan gambaran keindah-permaian alam yang abadi.
    Kalau ada sekelompok komunitas pencinta lingkungan ingin melakukan perjalanan kesana apakah ada guide atau porter yang dapat dihubungi untuk mendampingi?
    Jawaban kang Didien sangat kami nantikan, dan terima kasih sebelumnya ya Kang.

    Salam Lestari,
    Nungky

  12. arca” d gn. wayang sudah tdk ada, d hancurkan waktu itu jamannya DI/TII, karena akan berpotensi musyrik. mengenai ke angkeran, selama saya ekspedisi belum pernah saya temukan,

  13. Nungky Irma Nurmala Pratikto

    Asslm wr wb,
    Selamat pagi kang Didien,
    Respon dan jawaban kang Didien ternyata belum juga saya terima, tapi alhamdulillah saya bersama beberapa rekan Perempuan Merah Putih telah berkesempatan kembali datang ke Situ Cisanti di desa Kertasari, di hulu S. Citarum dan mendaki ke puncak Gunung Wayang di hulu Sungai Citarum tanggal 24 September 2012 yang lalu, setelah sebelumnya mencoba menanam beberapa tanaman di sekitar kawasan kaki gunung wayang.
    (penanaman ini sepertinya kurang berhasil, karena bibit yang kami kami pesan untuk ditanam, rupanya belum dipersiapkan terlebih dahulu didalam polybag.)

    Kedatangan saya berikutnya ke St. Cisanti tanggal 23 Februari 2013 tidak lagi mendaki Gunung Wayang karena cuaca sedang tidak bersahabat.. suhu lebih dingin dari biasanya dan angin bertiup sangat kencang sepanjang malam hingga pagi dan siang hari.
    Pohon Eucalypus yang batangnya menjulang itu merunduk tertiup angin kencang dan daun2nya bergesekan menimbulkan suara bergemuruh sepanjang malam, seperti suara hujan deras diantara tiupan angin kencang.
    Malam itu kami berkesempatan berdiskusi dengan kang Dudung, senior saya di Wanadri, bersama rekan2 Kelompok Taruna Mandiri yang telah dibinanya.
    Pagi harinya Bapak Donny, Direktur pengairan dan Irigasi Bappenas pun berkesempatan hadir kesana dan kami melanjutkan diskusi.
    Setelah diskusi , kami berjalan menuju lokasi penanaman bibit pohon endemik, antara lain Suren, Rasamala, Sukun, Jati dan beberapa jenis lainnya, yang telah dipindahkan beberapa lama didalam polybag, sehingga tingkat kemungkinan hidupnya diharapkan akan jauh lebih besar.
    Dalam perjalanan menuju lokasi penanaman, kami berhenti di beberapa titik yang terdapat bak sampah yang dibuat (bekerjasama dengan rekan2 Taruna Mandiri) sejumlah 3 buah di 3 titik, yang kami serahkan kepada Taruna Mandiri untuk dimanfaatkan dan tentu juga dijaga keutuhannya, baik oleh Kelompok Taruna Mandiri dan masyarakat yang datang ke daerah Situ Cisanti, .
    Semoga ada sahabat-sahabat pencinta lingkungan khususnya di hulu S.Citarum ini, yang juga ingin berkontribusi membuat bak sampah, yang kebutuhannya diperkirakan sejumlah 25 buah untuk sekeliling / sekitar Situ Cisanti.

    Terima kasih sudah bisa berbagi cerita dengan kang Didien dan sahabat-sahabat pencinta Citarum, semoga kita dapat saling menyemangati untuk upaya pemulihan S. Citarum

    Sedikit yang dapat kami berikan, tapi semua itu kami lakukan dengan tulus untuk kami persembahkan bagi lingkungan, masyarakat, juga bagi bangsa dan negara tercinta; Indonesia.

    Salam Lestari.
    Nungky

Tinggalkan komentar